Selasa, 19 Januari 2010

ISLAM DI TIBET, KETIKA KEDAMAIAN TERKOYAK


"Atap Dunia’’. Begitulah Tibet kerap dijuluki. Tak berlebihan julukan itu ditabalkan kepada Tibet. Betapa tidak. Di negara itulah puncak tertinggi di dunia, yakni Everest, berada. Sejatinya, sebagian wilayah Tibet masuk dalam kawasan pegunungan Himalaya.

Begitu terkenalnya, sampai-sampai nama Tibet, Himalaya atau Everest, banyak dijadikan sebagai inspirasi pembuatan karya seni khususnya film dan buku. Di antaranya adalah seri kisah petualangan Tintin. Pada salah satu judulnya, yakni Tintin di Tibet, Herge sang penulis asal Belgia, menyuguhkan sekilas pemandangan dan kondisi alam di Tibet, serta kehidupan masyarakatnya.

Apa yang tersaji memang tak jauh berbeda dengan kenyataan sesungguhnya. Tibet memiliki karakteristik lingkungan yang sangat beragam, di samping wilayahnya yang bergunung-gunung. Iklim yang keras lantaran kerap turun hujan salju juga menjadi bagian dari kondisi alam di sana. Meski demikian, situasi itu agak berbanding terbalik dengan sifat masyarakat Tibet yang cinta damai.

Sebagian besar penduduk beragama Budha. Tak heran, jika di Tibet mudah ditemui kuil-kuil Budha sebagai tempat pendidikan serta pembinaan para biksu. Di tengah keseharian mereka, terdapat komunitas Muslim. Islam dan Budha sejatinya telah berbagi sejarah panjang di negara yang berpenduduk sebanyak 2,7 juta jiwa itu. Hubungan erat telah berlangsung sejak abad ke-8 M. Para sejarawan Islam di era kekhalifahan, semisal Thabari, Yaqut Hamawi, dan Ibn Khaldun, bahkan kerap menyebut nama Tibet dalam tulisantulisannya. Islam masuk ke Tibet di era Umar bin Abdul Aziz I (717 M - 720 M) dari Dinasti Umayyah.

Saat itu, Khalifah Umar mengirim utusan atas permintaan delegasi Tibet dalam rangka mengenalkan Islam di kawasan tersebut. Rombongan utusan dipimpin oleh Salah bin Abdullah Hanafi. Mereka segera mendakwahkan Islam. Kegiatan itu tak berhenti meski terjadi pergantian kepemimpinan di Baghdad dari Dinasti Umayyah ke Dinasti Abbasiyah.

Namun demikian, penduduk Tibet yang berpindah keyakinan ke agama Islam tidak terlampau banyak. Kehadiran pemeluk Islam dalam jumlah signifikan terjadi melalui pedagang dan imigran asal Kashmir, wilayah di India yang berbatasan langsung dengan Tibet.

Keberadaan mereka ditemukan di seluruh kota di Tibet. Pedagang dan imigran Muslim dari Kashmir pertama kali datang ke Tibet sekitar abad ke-12 M. Dari waktu ke waktu, interaksi kian erat. Pedagang dan imigran Muslim kemudian menikah dengan wanita setempat, yang akhirnya mengikuti agama suaminya. Hal ini mendorong pening katan jumlah umat Islam di Tibet.

Masyarakat Tibet pun menyebut pemeluk Islam dengan panggilan Kachee, artinya orang Kashmir. Walaupun bukan warga asli Tibet, tapi mereka lebih diakui sebagai bagian dari masyarakat ketimbang Muslim Hui yang berasal dari Cina yang disebut Kyangsha.

Sebagian besar Muslim Tibet menetap di kota Lhasa dan Shigatse, kota terbesar kedua. Kebanyakan mereka tinggal di sekitar masjid yang dibangun kemudian. Masjid lantas menjadi pusat kehidupan sosial umat. Ini membuat masjid-masjid di Tibet terpelihara dengan baik. Ketika Tibet berada di bawah kekuasaan Dalai La ma kelima, umat Islam hidup berdampingan secara damai bersama pemeluk Budha. Umat Muslim juga mendapat perlakuan istimewa. Mereka misalnya diizinkan menjalankan urusan keseharian secara syariat. Muslim Tibet juga bebas untuk mendirikan perusahaan dan berbisnis.

Masa-masa penuh kedamaian itu terkoyak seiring invasi tentara Cina pada 1950. Setahun kemudian, Cina menduduki ibu kota Lhasa dan mendongkel Dalai Lama dari kekuasaannya. Tibet pun dijadikan sebagai salah satu provinsi Cina. Sejak peristiwa tersebut, masyarakat terus mendapat tekanan. Tak hanya umat Budha, perlakuan semena-mena juga diterima warga minoritas Muslim. Kedua umat juga sering diadu domba. Tak hanya itu, pihak penguasa mendesak Muslim Tibet untuk menjual tanah dan bangunan milik mereka.

Untuk itu, Muslim Tibet diiming-imingi tawaran untuk berimigrasi ke luar negeri apabila bersedia menjual lahan dan bangunannya. Tapi, tawaran ini ditolak mentahmentah. Muslim Tibet tak ingin menyerahkan begitu saja harta dan kekayaan yang mereka peroleh dari jerih payahnya. Sebagai konsekuensinya, mereka terus mendapatkan tekanan dan penindasan.

Para pedagang dan warga Tibet dilarang untuk menjual makanan kepada umat Muslim yang enggan menjual tanah dan rumahnya. Dampak dari perintah boikot ini sangat memprihatinkan, mengingat banyaknya umat yang menderita kelaparan.

Tak kuasa menahan derita, umat Muslim Tibet memilih untuk mengungsi ke wilayah India. Maka, terjadilah gelombang eksodus ke kota-kota perbatasan di India. Di lokasi pengungsian, kehidupan tak lebih baik. Mereka mencoba bertahan dan berjuang membangun komunitas di pengasingan hingga selama dua dasawarsa berikutnya. Hanya saja, usaha ini tak cukup berhasil lantaran ketiadaan figur pemimpin yang mumpuni.

Akibat permasalahan yang tak kunjung tuntas, sebagian umat Muslim Tibet memilih pergi ke luar negeri. Arab Saudi, Turki, Nepal dan beberapa kawasan di India menjadi tujuan mereka dalam usaha mencari penghidupan yang lebih layak.

Situasi dan kondisi memprihatinkan yang dialami warga Muslim Tibet ini tak lepas dari perhatian Dalai Lama, pemimpin spiritual Tibet yang juga hidup di pengasingan. Dalai Lama secara khusus mengirimkan utusannya untuk mengetahui kondisi sebenarnya warga Muslim Tibet ini. Dia cukup diyakinkan dengan informasi terkait penderitaan Muslim Tibet di pengungsian.

Maka itu, saat kunjungan ke Srinagar tahun 1975, Dalai Lama membahas ma -salah ini dengan sejumlah petinggi India. Dia sekaligus mendorong Muslim Tibet membentuk Asosiasi Kesejahteraan Pengungsi Muslim sebagai wadah perjuangan. ed; heri ruslan


Dukungan untuk Muslim Tibet

Imbauan Dalai Lama untuk membentuk semacam badan peningkatan kesejahteraan Muslim di pengungsian, segera direalisasikan. Badan ini langsung bekerja terutama untuk mengangkat taraf ekonomi dan pendidikan komunitas Muslim.

Bantuan dana dari Dalai Lama sangat membantu pelaksanaan kerja badan tersebut. Setelah itu, sejumlah bantuan lain mulai berdatangan, antara lain dari yayasan masyarakat Tibet di New York.

Program pengembangan usaha kecil menjadi prioritas. Di beberapa lokasi pengungsian, didirikan pusat-pusat kerajinan tangan. Umat Muslim ada yang dikirim ke Dharamsala untuk belajar teknik membuat karpet.

Dari aspek sosial kemasyarakatan, Kerajaan Arab Saudi turut membantu dana bagi pembangunan ratusan unit rumah, sekaligus masjid. Pembangunan perumahan selesai sekitar tahun 1985 untuk kemudian didistribusikan kepada para pengungsi.

Situs www.unpo.orgmenyebutkan, diperkirakan sekitar dua ribu umat Muslim Tibet menjadi perantau. Sementara yang masih bertahan di Tibet jumlahnya mencapai tiga ribu jiwa. Mereka yang memilih meninggalkan Tibet kini hidup terpencar di berbagai negara. Sebagian masih berada di wilayah Kashmir, sebagian lagi menetap di Nepal, juga beberapa negara di Timur Tengah dan Turki.

Para pengungsi ini masih punya satu harapan. Yaitu, suatu hari nanti mereka ingin kembali ke Tibet. Seorang pemuda Muslim saat ditanya apakah berkeinginan kembali ke Tibet sebagai solusi akhir, dengan tegas menjawab, Lebih baik hidup di bawah jembatan di negeri sendiri, ketimbang hidup senang tapi sebagai pengungsi di negara orang.

Mimpi dan harapan itulah yang membuat umat Muslim Tibet di pengasingan terus berupaya menggalang bantuan dari seluruh dunia. Salah satu yang sangat mendukung langkah itu adalah Dalai Lama.

Pada berbagai forum, pemimpin spiritual Tibet ini senantiasa mengungkapkan penderitaan warga Muslim Tibet. Dia pun meminta agar dunia memberikan perhatian bagi mereka.

Dalai Lama juga mengaku prihatin dengan stigma kekerasan yang saat ini disematkan kepada umat Muslim. Menurutnya, dalam kaitan tersebut Islam telah diperlakukan dengan tidak adil.

Berdasarkan pengalamannya hidup bersama komunitas Muslim, peraih Nobel Perdamaian tahun 1989 itu mengungkapkan, Islam bukanlah sebuah tradisi militan. Sebaliknya, kata dia, Islam memiliki pesan dan ajaran yang mengedepankan kasih sayang dan perdamaian.

Terkait aksi kekerasan yang dilakukan oleh segelintir umat Islam, Dalai Lama mengingatkan, bahwa hal serupa bisa terjadi pada agama lain. Di tiap-tiap agama, selalu akan ada orang yang memilih cara tersebut, paparnya.

Lebih jauh, pemilik nama asli Tenzim Gyatso ini meminta agar segenap umat manusia untuk menjalin kerjasama, berto leransi dan menjauhi pertikaian yang meng atasnamakan agama. Dia berpendapat, dengan semangat saling menghargai dan tolong menolong itulah, maka harapan untuk membantu sepenuhnya umat Muslim Tibet dapat diwujudkan. yusuf/taq

Tidak ada komentar: