Senin, 21 Desember 2009

puisi

tentang taman


Dedaunan hijau melambai tertiup angin
denting suara bertalu diantara sunyi taman ini
ragam jenis pohon yang jadi wajibku
ragam perdu di balik ukir batu
memberi celah sunyi untuk sang matahari
dentingan bertalu-talu diantara pepohonan yang bisu
hingga tertekan angin dari asap yang menggebu

Dedaunan hijau runtuh merelakan kawan tua
sesaat hingga suara-suara memberontak di kesunyian taman
hingga mereka berdatangan diantara tanah batu ukir
rindangnya alam taman terusir
khayalku terhenti…..
taman ini memintaku pergi
seakan enggan tak dapat menampakkan lagi
keasrian perlindungan sunyi
yang mereka tawarkan padaku hingga pagi ini

Aku pun beranjak pergi
ketika sang pembawa pesan menawarkanku tuk kembali
nanti berkhayal rindangnya sunyi
paru-paru ibu pertiwi
yang mereka bawa hingga mati dan tumbuh kembali
meski nyata itu telah jauh pergi
Aku berjanji untuk kembali
mengingat kembali hijaunya ibu pertiwi

kata dakwah

Meraih Kemuliaan Dengan Dakwah

Siapa pun maklum, bahwa manusia yang paling mulia di sisi Allah adalah para nabi dan rasul. Tidak ada manusia yang lebih mulia dari golongan mereka. Kemuliaan nabi dan rasul tentu bukan dari sisi fisik ataupun aspek kemanusiaan lainnya. Sebab, secara fisik dan dilihat dari aspek kemanusiaannya, nabi dan rasul adalah manusia biasa sebagaimana umumnya manusia, termasuk Rasulullah Muhammad Saw sekalipun.

Lalu apa yang menyebabkan mereka mulia di sisi Allah? Tidak lain karena risalah yang mereka emban. Artinya, kemuliaan mereka terletak pada kedudukan mereka sebagai para pengemban risalah, atau para pengemban dakwah. Allah SWT berfirman:

Rasul-rasul mereka berkata kepada mereka, “Sesungguhnya kami tidak lain adalah manusia biasa seperti kalian. Akan tetapi, Allah telah memberikan karunia-Nya kepada siapa saja yang dikehendakinya di antara-hamba-hamba-Nya.” (Qs. Ibrahim [14]: 11).

Menurut Ibn Katsir, kalimat, “Akan tetapi, Allah telah memberikan karunia-Nya kepada siapa saja yang dikehendakinya di antara-hamba-hamba-Nya,” bermakna bahwa mereka diberi karunia berupa nubuwwah dan risalah yang mereka emban. (Ibn Katsir, Tafsîr Ibn Katsîr).

Pengertian yang sama terdapat pada ayat berikut:

Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya aku adalah manusia bisa seperti kalian. (Hanya saja) aku telah diberi wahyu, bahwa sesungguhnya Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Maha Esa.” (Qs. al-Kahfi [18]: 110).


Pujian Terhadap Para Pengemban Dakwah

Jika kemuliaan para nabi dan para rasul dicirikan oleh risalah yang diembannya, lalu bagaimana kedudukan umat mereka yang meneruskan aktivitas mereka yang mulia itu, yakni mengemban risalah (baca: dakwah)? Allah SWT berfirman:

Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru manusia menuju Allah? (Qs. Fushshilat [41]: 33).

Menurut Imam al-Hasan, ayat di atas berlaku umum bagi siapa saja yang menyeru manusia ke jalan Allah (Al-Qurthubi, Tafsîr al-Qurthubi). Mereka, menurut Imam Hasan al-Bashri, adalah kekasih Allah, wali Allah, dan pilihan Allah; mereka adalah penduduk bumi yang paling dicintai Allah karena dakwah yang diserukannya (Ibn Katsir, op.cit.).

Karena itu, di sisi Allah, para pengemban dakwah adalah pewaris sejati para rasul dan para nabi Allah. Sebab, merekalah yang mewarisi risalah yang pernah diemban para nabi dan para rasul itu, sedangkan kita tahu, para nabi dan para rasul tidak meninggalkan apapun yang diwariskan bagi umat mereka, kecuali risalah yang mereka emban. Rasulullah Saw bersabda:

Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi itu tidak mewariskan dinar ataupun dirham. Mereka hanya mewariskan ilmu. Karena itu, siapa saja yang mengambilnya, maka sesungguhnya ia telah mengambil harta yang banyak. [HR. at-Tirmidzi, Ibn Majah, Ahmad, ad-Darimi].

Ulama dalam hadis di atas tentu saja mereka yang mengamalkan dan mendakwahkan ilmu mereka (al-‘ulamâ’ al-‘âmilûn). Sebab, jika mereka sekadar berilmu, tetapi tidak mengamalkan dan mendakwahkan ilmunya, kedudukan mereka justru hina di mata Allah, bahkan akan mendapatkan azab yang sangat keras. Rasulullah Saw bersabda:

Manusia yang akan merasakan azab paling keras pada Hari Kiamat adalah ulama yang dengan ilmunya, Allah tidak memberinya manfaat. [HR. Ibn Majah].

Karena itulah, mengapa Rasulullah Saw juga bersabda:

Sampaikanlah dariku walapun hanya satu ayat. [HR. at-Tirmidzi].

Di samping itu, banyak dorongan sekaligus pujian dari Allah dan Rasul-Nya yang ditujukan kepada para pengemban dakwah dan penyampai hidayah Allah. Rasulullah Saw, misalnya, bersabda, sebagaimana dituturkan Abu Hurairah:

Siapa saja yang menyeru manusia pada hidayah, maka ia mendapatkan pahala sebesar yang diperoleh oleh orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi sedikit pun pahala mereka. [HR. Muslim].

Sabda Rasul di atas sangat dipahami benar oleh para sahabat beliau. Karena itu, wajar jika mereka adalah orang-orang yang tidak pernah mengenal lelah dalam menyampaikan risalah Islam; meskipun mereka harus mengorbankan sebagian besar waktu, tenaga, pikiran, harta-benda, keluarga, bahkan nyawa sekalipun. Mereka adalah orang-orang yang senantiasa menjadikan dakwah sebagai poros hidup mereka, bahkan yang menentukan ‘hidup-mati’ mereka.

Rasulullah Saw dan para sahabat adalah orang-orang yang menomorsatukan dakwah ketimbang urusan-urusan di luar dakwah yang bersifat duniawi. Mereka bukanlah tipikal orang-orang yang lebih banyak disibukkan waktunya untuk mencari dunia (kecuali sekadar memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya saja). Mereka juga tidak menghabiskan sebagian besar waktunya untuk hal-hal yang tidak bermanfaat, meskipun mubah/halal. Jika tidak, mana mungkin mereka berhasil menyebarluaskan Islam di seluruh jazirah Arab dalam waktu yang sangat singkat?

Ini seharusnya menjadi pelajaran bagi para pengemban dakwah saat ini, apalagi mereka yang mencita-citakan tegaknya kembali Khilafah Islam. Dalam hal ini, kita patut bertanya, mungkinkah umat ini mampu membangun kembali Khilafah Islam, sementara dakwah yang dilakukan para pengemban dakwah kepada mereka sangat minimal dan ‘ala kadar’-nya? Mungkinkah umat terdorong untuk bersama-sama menegakkan kembali Khilafah Islam, sementara dorongan yang dilakukan para pengemban dakwah terhadap mereka sangat lemah?


Dakwah Islam Dan Amar Makruf Nahi Mungkar

Allah SWT berfirman:

Hendaklah ada di antara kalian sekelompok umat yang menyerukan kebaikan (Islam) dan melakukan amar makruf nahi mungkar. (Qs. Ali-Imran [3]: 104).

Amar makruf nahi mungkar adalah bagian dari dakwah Islam. Baik-buruknya masyarakat —salah satunya— bergantung pada dilaksanakan atau tidaknya amar makruf nahi mungkar. Imam al-Ghazali pernah berkata, “Sesungguhnya aktivitas amar makruf nahi mungkar adalah poros yang paling agung dalam agama. Karena aktivitas inilah Allah mengutus para nabi seluruhnya. Seandainya umat Islam mengkerdilkan amar makruf nahi mungkar, tidak mau memahami dan mengamalkannya, tentu akan berhenti nubuwwah ini; kesesatan akan tersebar luas, kebodohan akan menjadi hal yang lumrah, kerusakan akan merajalela, pelanggaran akan semakin meluas, negeri-negeri akan hancur, dan manusia akan binasa.” (Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn, 2/306).


Celaan Dan Ancaman Bagi Orang Yang Meninggalkan Dakwah

Allah SWT berfirman:

Mengapa orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan makanan yang haram? Sungguh, amat buruk apa yang telah mereka kerjakan. (Qs. al-Mâ’idah [5]: 63).

Frasa labi’sya mâ kânû yashna’ûn (Sungguh, amat buruk apa yang telah mereka kerjakan) jelas merupakan celaan dari Allah SWT dan peringatan kepada para ulama Yahudi dan Nasrani karena mereka tidak menegakkan dakwah dan amar makruf nahi mungkar. Berkenaan dengan ayat ini, Imam al-Qurtubi berkomentar dalam tafsirnya, “Ayat ini menunjuk pada orang yang berdiam diri dan tidak mau mencegah kemungkaran, bahwa mereka pada dasarnya sama dengan orang yang berbuat kemungkaran itu sendiri.” (Al-Qurthubi, op.cit., 6/237).

Sementara itu di dalam as-Sunnah, Rasulullah Saw antara lain bersabda:

Siapa saja di antara kalian yang melihat kemungkaran maka ubahlah kemungkaran itu dengan tangannya; jika tidak mampu, dengan lisannya; jika tidak mampu, dengan qalbunya. Yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman. [HR. Muslim].

Jarir bin Abdillah berkata:

Aku membaiat Rasul Saw untuk menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan memberi nasihat untuk setiap Muslim. [HR. Muslim].

Dalam hadis di atas sangat jelas bahwa nasihat —yang merupakan bagian dari aktivitas dakwah Islam— adalah di antara perkara yang dijadikan akad baiat. Baiat sendiri adalah akad perjanjian yang wajib dipenuhi dan haram untuk dilanggar. Allah SWT berfirman:

Siapa saja yang melanggar janjinya niscaya akibatnya akan menimpa dirinya sendiri. (Qs. al-Fath [49]: 10).

Penting untuk disadari, bahwa seorang Muslim tidak selayaknya meninggalkan aktivitas amar makruf nahi mungkar karena rasa takut atas kehidupan dan rezekinya. Sebab, sesungguhnya ajal dan rezeki ada di tangan Allah; tidak seorang pun berkuasa atas keduanya. Rasul Saw bersabda:

Tidak layak seseorang, ketika menyaksikan suatu tempat di dalamnya ada kebenaran, kecuali dia akan mengatakannya. Sesungguhnya sekali-kali hal itu tidak akan pernah memajukan ajalnya dan tidak akan pernah mencegah apa yang telah menjadi rezeki baginya. [HR. al-Baihaqi].


Berdiam Diri Terhadap Kemungkaran Adalah Tindak Kriminal

Khalifah Umar bin Abdul Aziz r.a. menyatakan bahwa sesungguhnya berdiam diri (membisu) terhadap kemungkaran dan pelakunya adalah termasuk kemungkaran itu sendiri yang berhak mendapat sanksi di dunia. Sanksi di sini adalah ta’zîr yang diserahkan sepenuhnya kepada Imam/Khalifah atau seorang qâdhi. Diriwayatkan, polisi Umar bin Abdul Aziz pernah datang pada sekelompok orang yang sedang meminum khamr, sementara di sana juga ada seorang Muslim yang duduk bersama mereka, tetapi dia tidak ikut-ikutan karena sedang berpuasa. Saat itu, polisi diperintahkan untuk mencambuk semua orang yang ada di sana. Namun, sang polisi bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, si fulan ini tidak ikut minum bersama mereka; dia sedang berpuasa.” Umar bin Abdul Aziz tegas berkata, “Hadirkan dia dan cambuklah!” (Al-Qaradhawi, Al-Halal wa al-Harâm, hlm. 73).

Umar melakukan hal demikian karena beliau memandang sikap berdiam diri atas kemungkaran sebagai sebuah tindakan kriminal.


Khatimah

Sesungguhnya saat ini, banyak di antara mereka yang mengklaim sebagai pengemban dakwah, bahkan menjadi anggota jamaah dakwah, hanya memposisikan diri layaknya kaum Muslim kebanyakan; sebatas hanya sebagai pendengar semata. Mereka semata-mata rajin menghadiri halaqah, liqâ’, seminar, atau banyak membaca buletin dan nasyrah; tetapi tidak ada aktivitas dakwah yang dilakukan, kecuali sedikit sekali. Mereka merasa cukup dengan itu. Mereka sangat minimalis. Padahal mereka menyadari dengan baik sabda Rasul berikut:

Allah itu Mahabaik dan tidak menerima kecuali yang baik-baik saja. [HR. Muslim, at-Tirmidzi, dan Ahmad].

Sebagaimana Allah tidak menerima makanan jelek yang kita sedekahkan, Allah juga pasti tidak akan menerima amalan kita yang jelek yang kita berikan bagi Islam. Bukankah aktivitas dakwah yang minimalis adalah bagian dari sesuatu yang jelek? Sebab, sesungguhnya Islam menghendaki dari diri kita pengorbanan waktu, tenaga, dan pikiran yang optimal serta harta yang banyak. Islam menghendaki segala sesuatunya yang terbaik dari diri kita. Tidakkah kita melihat bagaimana Abu Bakar ash-Shiddiq yang menginfakkan seluruh hartanya di jalan Allah dan jalan dakwah Islam? Ketika beliau melakukan itu, beliau ditanya Rasulullah Saw, “Apa yang engkau tinggalkan untuk keluargamu, wahai Abu Bakar?” Beliau hanya menjawab, “Aku meninggalkan bagi mereka Allah dan Rasul-Nya.

Demikianlah, sesungguhnya Islam menghendaki dari setiap Muslim waktunya, hartanya, tenaganya, semangatnya, rumahnya, mobilnya, bahkan hidupnya. Sesungguhnya Islam menghendaki setiap Muslim ‘menjual’ dirinya kepada Allah dan memberikan setiap hari sesuatu yang baru bagi Islam. Tidakkah kita melihat bagaimana kesungguhan Mus‘ab bin Umair dalam berdakwah? Mush’ab setiap hari dalam hidupnya senantiasa memberikan konstribusi baru bagi Islam di dalam dakwah dan jihad yang dilakukannya. Beliau adalah dai pertama dalam Islam di kota Madinah. Di tangannyalah sebagian besar penduduk Madinah berhasil diislamkan. Dia adalah peletak pertama fondasi Negara Islam Madinah. Dia adalah kontributor sesungguhnya bagi Islam dan jamaah kaum Muslim.

Lalu bagaimana dengan kita? Sudah berapa puluh orang yang kita Islamkan? Sudah berapa ratus orang Islam yang berhasil kita ajak memasuki barisan dakwah Islam? Apakah kita telah berusaha keras untuk memahami Islam, mengamalkan, sekaligus mendakwahkannya? Berapa banyak harta yang kita infakkan setiap minggunya untuk kepentingan dakwah Islam? Berapa malam setiap minggunya kita memikirkan aktivitas demi kebangkitan Islam secara umum, atau kemajuan Islam di kota tempat tinggal kita? Berapa kali kita melakukan amar makruf nahi mungkar setiap harinya? Demikian seterusnya.

Pertanyaan-pertanyaan itu penting kita tanyakan kepada diri kita untuk mengukur sejauh mana kita telah mengorbankan diri kita untuk Allah. Lihatlah oleh kita seorang pekerja pabrik, seandainya dia tidak melakukan apapun dan tidak menghasilkan apapun; dia tidak bekerja selain mengisi daftar hadir pada pagi hari dan pulang di sore hari, kira-kira apa yang dihasilkan olehnya? Demikian juga seseorang yang sekadar ‘terdaftar’ sebagai anggota jamaah dakwah, sementara tidak ada atau sedikit yang dia lakukan untuk dakwah dan jamaahnya. Dia sekadar hadir di setiap halaqah dan tidak ada aktivitas lain yang dilakukannya selain halaqah; apa yang dihasilkan dari dirinya dan apa pula yang disumbangkannya bagi dakwah Islam? Renungkanlah! [Majalah al-wa'ie, Edisi 49]

kata cinta

Bila cinta berbalas, rasanya samudera hati terbentang luas terbang tinggi ke sidratul muntaha..tapi cinta tak berbalas, hanya keheningan yang melanda dan dinginnya menerpa relung hati membuat raga tak kuasa melangkah karena seperempat jiwa melayang turun kebawah menghujam bumi tanpa melewati pembatas..
Bila cinta berbalas, rasanya samudera hati terbentang luas terbang tinggi ke sidratul muntaha..tapi cinta tak berbalas, hanya keheningan yang melanda dan dinginnya menerpa relung hati membuat raga tak kuasa melangkah karena seperempat jiwa melayang turun kebawah menghujam bumi tanpa melewati pembatas..
Diriku memulai sesuatu jalan kehidupan yang merubah diri dari sendiri menjadi berpasangan.Dan hati yang tidak lagi mencari ketinggian dunia, akan selalu terisi limpahan kasih sayang. Menebarkan kasih bukan lagi hal yang sulit, karena kasih mengalir tanpa rekayasa. Karena jiwa telah siap diisi kembali dengan kebaikan dan keindahan dunia, yang pasti indah dalam kebenaran-NYa. Ini semua yang akan membuat kita kaya akan kasih dan cinta untuk bekal hidup kini dan esok.

Bila cinta berbalas, rasanya samudera hati terbentang luas terbang tinggi ke sidratul muntaha..tapi cinta tak berbalas, hanya keheningan yang melanda dan dinginnya menerpa relung hati membuat raga tak kuasa melangkah karena seperempat jiwa melayang turun kebawah menghujam bumi tanpa melewati pembatas..